Toksin kuat
yang dihasilkan oleh Clostridium
botulinum menyebabkan botulisme (keracunan makanan) yang mematikan. Namun
racun mengerikan itu dimanfaatkan sebagai bahan pengobatan oleh para ahli bedah
kosmetik untuk melawan keriput.
Selama decade
terakhir, toksin botulinum, yang dipasarkan dalam dosis sebagai Botox,
digunakan untuk mengobati sejumlah penyakit neuromuscular yang menimbulkan
nyeri dan dikenal sebagai dystonia. Penyakit ini ditandai dengan spasme
(kontraksi otot involunter yang berlebihan dan menetap) yang menyebabkan postur
abnormal atau pemuntiran bagian tubuh, bergantung pada bagian yang terkena. Contoh,
spasme leher yang menyebabkan nyeri dan kepala berputar ke satu sisi terjadi
akibat tortikolis spasmodic, yaitu jenis dystonia tersering. Gangguan ini
disebabkan oleh asupan inhibitorik yang terlalu sedikit dibandingkan
eksitatorik ke neuron motoric yang menyarafi otot yang bersangkutan.
Toksin
botulinum menghambat pelepasan asetilkolin penyebab kontraksi otot dari neuron motoric
overaktif di tau neuromuscular diotot yang terkena. Tujuannya adalah
penyuntikan toksin botulinum secukupnya untuk menghilangkan kontraksi spasmodic yang mengganggu tetapi tidak cukup
untuk menghilangkan kontraksi normal yang diperlukan untuk gerakan biasa.
Distonia
pertama yang diijinkan diterapi dengan Botox
oleh Food Drug Administration (FDA) adalah Blefarospasme. Pada keadaan ini, kontraksi involunter dan menetap
otot-otot disekitar mata hampir secara permanen menutup kelopak mata.
Potensi
toksin botulinum sebagai opsi pengobatan bagi ahli bedah kosmetik ditemukan
secara kebetulan ketika dokter mengamati bahwa penyuntikan yang digunakan untuk
melawan kontraksi abnormal otot mata juga memperhalus keriput dibagian yang
diobati. Ternyata garis kernyit, keriput disekitar mata dan alur di atas alis
disebabkan oleh aktivitas berlebihan atau kontaksi permanen wajah karena
ekspresi berulang selama bertahun-tahun.
Komentar
Posting Komentar